Hati-hati Memilih Sekolah Internasional


Sekolah Internasional? Baru mendengarnya aja kita sudah membayangkan kemewahannya dan mahalnya biaya yang harus ditanggung bagi orang tua siswa. Bagi sebagian orang tua, memasukkan anaknya ke sekolah internasional mungkin sebuah kebanggaan dan prestise tersendiri. Namun memasukkan anak ke sekolah itu apakah merupakan sebuah jaminan keberhasilan bagi masa depan anak? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Sebelum memilih sekolah mari kita lihat kondisi yang sebenarnya tentang sekolah internasional ini.

Fakta 1.

Sekolah internasional (kita singkat SI) berarti juga memfaslitasi diri dengan pengajar dengan bahasa internasional, dalam hal ini bahasa Inggris. Agar lebih kelihatan bonafide, banyak SI (semua kali ya) mempekerjakan pengajar native speaker (kita sebut aja guru ekspat) yang berasal dari negara asing. Masalahnya, ternyata tidak semua guru ekspat tersebut punya kualifikasi sebagai seorang pengajar. Seperti apa yang dituturkan Unang(nama disamarkan) seorang alumnus perguruan tinggi swasta terkemuka di Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, yang sekarang mengajar matematika di sebuah SI, bahwa ada guru ekspat yang bukan lulusan biologi tapi ngajar biologi di sekolah itu. Lagipula gaji guru ekspat ternyata sepuluh kali lipat guru pribumi. Lebih parah lagi ada SI yang mempekerjakan guru ekspat dari turis yang kehabisan uang, tanpa melihat kualifikasinya yang penting mau digaji murah. Di Jakarta ada SI yang ambil guru ekspat dari jalan Jaksa yang merupakan kawasan penginapan turis. Lebih parah lagi diceritakan Gene Netto (dari Selandia Baru), seorang konsultan bahasa untuk MLIC di Jakarta, pernah bertemu guru ekspat yang gak lulus kuliah dan di US profesinya sebagai disc jockey, ada juga yang cuma lulusan SMA tapi disini ngajar TOEFL, wah..wah.. jadi apa negara kita. Dia menambahkan dari 100 guru ekspat mungkin hanya 1 yang qualified sebagai guru (parah juga ya). Intinya banyaknya guru ekspat di sebuah SI hanya untuk kepentingan bisnis doang. Makanya bagi ortu jangan malu-malu lihat CV dari para pengajar, demi kebaikan anak dan kita gak rugi bayar mahal.

Fakta 2.

Masih menurut pak Gene Netto, SI di luar negeri, walau pakai bahasa asing tapi bahasa ibu tetap dipakai sedangkan di Indo bahasa ibu sedikit sekali digunakan. Kemampuan pemahaman bahasa bagi anak juga berbeda-beda, ada yang gampang paham ada yang agak lama, padahal setiap pelajaran pengantarnya pakai bahasa asing. Jadi berapa persen pemahaman anak terhadap pelajaran, ya tergantung pada kemampuan bahasanya. Parahnya lagi, jika guru ekspatnya gak dong bahasa Indo, wah ya jadi miss universe.. eh miskomunikasi, ya to. Ditambah lagi guru ekspat itu gak qualified jadi gak bisa menyampaikan pelajaran sesuai perkembangan siswa yang bahasanya aja masih a..i…u… neranginya nrocos kaya mesin sepur, ya anak kaya ndengerin suara brisik aja. Hal itu justru akan menjadi siksaan psikologis bagi si anak. Selain itu kalau tiap hari dicekoki bahasa asing, apa jadinya dengan bahasa Indo? Jangan-jangan mereka malah menganggap remeh budaya sendiri.

Menurut para pengusaha, bisnis yang sangat mengutungkan adalah bisnis pendidikan, termasuk franchise sekolah, gak pernah rugi dan break even point atau balik modalnya juga cepet. Di Indonesia apalagi, kalau namanya udah berbau-bau asing maka cepet laku kaya kacang goreng. Masalah kualitasnya, ya ada yang bagus, juga banyak yang kalah dengan sekolah negeri. Pemerintah yang seharusnya lebih ketat lagi dalam memberi izin pendirian sekolah, harus di kaji sebelum dan sesudah sekolah berdiri, jadi nggak merugikan rakyat sendiri.

Sumber Intisari, Juli 2007


Add to Technorati Favorites

4 comments:

Anonim mengatakan...

Pemerintah harus punya sistem seleksi dan pengawasan yang bagus, harus turun ke lapangan, dan yg ptg jgn mau disuap. Kita harus mulai menghargai skill orang-orang negeri sendiri.

Anonim mengatakan...

hati-hati memilih Si ok aja tapi gak usah sampai paranoid,,,

gak semua SI jelek apalagi kalau cuma kata si ini kata si itu. ada juga kok SI yang ok di JIS sendiri di ajarkan bahasa indonesia kok.. soal soalnya juga berbobot..dan up to date beberapa murid private saya anak JIS jadi saya tau.. guru-gurunya kebanyakan S2 sama S3, secara keilmuan oke.. pernah ada guru baru yang gak oke terus ortu protes akhirnya baru sebulan kerja sudah diberentiin.

tapi ada juga SI yang kurang oke, beberapa murid saya siswa SI lain (gak etis kalau saya sebutin nama sekolahnya) merasa disekolah gak dapet apa-apa coz gurunya gak bisa ngajar dan ilmunya gak up to date.

hati hati harus tapi gak usah parno

Anonim mengatakan...

Apa yang disampaikan di blog ini ada bagian yang benar kok ada kok guru ekspat yang mengajar bukan di bidang ilmunya, tapi yang disampaikan Ernie juga benar, jangan terlalu parno ya..
Anyway, kita bangsa Indonesia mestinya bangga sama bangsa sendiri. Terbukti di sekolah saya, hasil IGCSE Exam tertinggi ada di pelajaran yang diampu oleh guru pribumi bukan ekspat. Barulah para ortu respek pada kita-kita pengajar lokal di sekolah Internasional.

Hendra mengatakan...

Sebagai mantan praktisi pengajar di sekolah internasional di Indonesia, apa yg disebutkan penulis ada benarnya. Saya bisa pastikan bahwa tentang gaji, itu juga banyak benarnya. Dulu malah saya suka senewen kalo liat guru ekspat tanpa kualifikasi ini dikasi tanggung jawab mengajar. Buat orang tua, cermat dan cerdas saja memilih sekolah yang berlabel internasional ini. Pendidikan jadi komoditas industri dalam sektor ini. Salam (Hendra, sekarang menempuh studi S3 bidang pengembangan kurikulum di Univ Twente)